A.
Latar Belakang Penyusunan Kitab Sunan Ibnu Majah
Sebagaimana Bukhari dan beberapa ulama
pendadwin hadis, di dalam menyusun kitab hadis selalu dilatarbelakangi
hal-hal tertentu yang mendorong mereka
untuk menyusun sebuah kitab hadis, dan memiliki tujuan-tujuan jelas.
Akan tetapi hal tersebut tidak senada
dengan Ibnu Majah. Menurut ulama, Ibnu
Majah di dalam menyusun kitab hadis
tidak menjelaskan latarbelakang dan alasan-alasan tertentu, serta tidak
memaparkan tujuannya dalam penyusunan kitabnya.[1]
Walaupun secara logika tidak mungkin
setiap tindakan tanpa adanya sebab atau alasan tertentu, oleh karena itu Ibnu
Majah dalam menyusun kitab sunannya pasti memiliki latar belakang dan tujuan
tertentu, tetapi hal tersebut tidak diketahui oleh ulama.
B.
Biografi Singkat Ibnu Majah
Beliau dikenal dengan nama Muhammad bin
Yazid, nama panggilannya Abu ‘Abd Allah, beliau lebih dikenal dengan Ibn Majah
dan nama ini merupakan nama gelar yang diberikan oleh bapaknya yaitu Yazid.[2]
Nama lengkap beliau adalah Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Yazid bin Majah
ar-Rab’Ibnu Majah al-Qazwini,[3] ia
dilahirkan pada tahun 209 H.,[4]
dan beliau meningal dunia pada hari senin, 21 Ramadhan 273 H.[5] Beliau tergolong masuk pada tabaqat ittabi’
ittabi’ tabi’in.[6]
Tidak dicantumkan pada tahun dan usia
berapa beliau memulai mempelajari hadis.
Ali bin Muhammad atau-Tanafasi (wafat 233 H) adalah guru beliau yang
paling pertama. Ini berarti bahwa beliau
mulai belajar hadis sebelum tahun 233 H., barangkali pada usia beliau yang antara
kelima belas atau kedua puluh, seperti lumrahnya tradisi yang hidup pada masa
itu. Beliau mulai melakukan pengembaraan untuk mempelajari hadis setelah tahun
230 H.[7]
Ibn Majah mengembara dalam menuntut ilmu
ke berbagai daerah, di antaranya mengunjungi Khurasan, Irak, Hijaz, Mesir,
Syam, Basrah, Kuffah, Bagdad, dan lain
sebagainya.[8]
Ibnu Majah meriwayatkan hadis dari
beberapa ulama hadis, di antara orang yang pernah menjadi guru Ibnu Majah dalah
bidang hadis adalah, Abi Bakar bin Abi Syaibah, Malik dan para Sahabatnya dan
al-Lais bin Sa’id serta para sahabatnya pula.[9]
Di dalam pengembaraannya, sewaktu
beliau berada di Mesir bertemu dan berguru pada Harmalah bin Yahya, Aba ath-Thahir bin
as-Sarh, Muhammad bin Ramh, Muhammad bin Haris dan Yunus bin ‘Abd al-A’la. Ketika beliau di Damsyik berguru pada Hisyam
bin ‘Amar, Dahima, ‘Abbas bin Walid, Khalal, ‘Abd Allah bin Muhammad bin Basyir
bin Dhakwan, Mahmud bin Khalid dan Hisyam bin ‘Abd al-Malik. Selanjutnya, tatkala beliau berkunjung di
Irak bertemu dan berguru pada Aba Bakar bin Abi Syaibah, Ahmad bin ‘Abdah,
Ismail bin Musa al-Fazari, Aba Khaisamah Zuhair bin Harb dan Suwaid bin Sa’id.[10]
Di antara orang yang pernah berguru
kepada beliau adalah, ‘Ali bin Sa’id bin ‘Abd Allah al-Ghadani, Ibrahim bin Dinar
al-Jarasyi al-Hamdani, Ahmad bin Ibrahim al-Qazwini, Abi Ya’la al-Khalili, Abu
at-Tayyib Ahmad bin Ruh al-Masy’arani, Ishaq bin Muhammad al-Qazwini, Ja’far
bin Idris, Husain bin ‘Ali bin Baranayad, Sulaiman bin Yazid al-Qazwini,
Muhammad bin ‘Isa ash-Shaffar, Abu al-Hasan ‘Ali bin Ibrahim bin Salamah
al-Qazwini, Abu ‘Umar Ahmad bin Muhammad bin Hakim al-Madani al-Ashbahani dan
lain sebagainya.[11]
Putera beliau adalah Abd Allah, telah
disebutkan sebagai salah seorang yang ikut memangul beliau keadilan liang kubur
dengan dibantu oleh kedua orang pamannya.[12]
Ibnu Majah memiliki berbagai karya
besar, hasil karya-karya beliau di antarnya adalah, Sunan, Tafsir,[13]
Tarih (sejarah perawi hadis).[14] Sekarang ini, kita tidak mendapatkan
informasi tentang tafsir, dan tarikh. Kelihatannya, kedua buku tersebut telah
hilang untuk jangka waktu yang cukup lama.
Walaupun demikian, sunan Ibn Majah sangat terkenal. Beratus-ratus perpustakaan menyimpan
manuskrip-manuskrip karya beliau. Kitab
ini telah dipublikasikan beberapa kali.[15]
C.
Metode Penyusunan dan Jumalah Hadisnya
Kitab Ibnu Majah merupakan salah
satu kitab hadis yang sistematis, sistematika fiqh,[16]
penyusunannya cukup baik, baik dari segi penyusunan judul per judul maupun bab
dan sub babnya, hal ini telah diakui oleh banyak ulama.
Kitab tersebut dibagi menjadi 37 sub
judul, masing-masing judul berisi sub bab-bab yang jumlahnya berfariasi, dari
mulai 7 bab setiap judulnya hingga 205 bab perjudul, dari tiap-tiap sub bab
berisi beberapa hadis yang jumlahnya juga berfariasi.[17]
Al-Ustad al-Muthaqqiq Muhammad Fu’ad
Abdul Baqi memberikan pengabdian ilmiah terhadap sunan Ibnu Majah dengan
mentahqiq sumber-sumber asalnya dan mentakhrij hadis-hadisnya. Ternyata, jumlah keseluruhan Kitab Ibnu Majah berisikan 4.341 hadis, dan
sebanyak 3.002 telah dibukukan oleh pengarang al-Ushul as-Sittah lainnya,[18]
baik seluruhnya, atau sebagiannya.
Berarti masih tersisa 1.339 hadis yang hanya diriwayatkan oleh beliau
sendiri tanpa kelima pengarang lainnya, dengan rincian sebagai berikut:
1)
428 dari 1.339 hadis di atas adalah shahih,
2)
199 dari 1.399 hadis di atas adalah hasan,
3)
613 dari 1.339 hadis tersebut adalah lemah isnadnya,
4)
99 dari 1.339 hadis itu adalah munkar dan makdzub.[19]
D.
Kriteria Kesahihan Hadis Menurut Ibnu Majah [20]
Di dalam menyusun kitab Sunan Ibnu
Majah, Ibnu Majah tidak menyebutkan kriteria-kriteria tertentu untuk
menyeleksi hadis-hadisnya. Kitab beliau
berada pada posisi yang paling rendah dalam koleksi dari enam kitab-kitab
hadis.[21]
Ibnu Majah juga tidak mencamtumkan
persyaratan-persyaratan tertentu di dalam menyebutkan kesahihan sebuah hadis,
tidak seperti perawi-perawi yang lain,[22]misalnya
Bukhari dan Muslim, yang memaparkan kreteria-kreteria dan
persyaratan-persyaratan tertentu dalam menetapkan kesahihan suatu hadis.
E.
Kritik Ulama Terhadap Hadis-Hadis Sunan Ibnu Majah
Keberadaan kitab Sunan Ibnu Majah
mendapat kritikan-ktitikan dari beberapa
ulama, di antaranya:
1) Abu Nashar ‘Abd ar-Rahim bin ‘Abd al-Khalq
berpendapat, walaupun Ibnu Majah seorang yang terpercaya dan luas ilmunya, akan
tetapi di dalam kitab Sunannya terdapat hadis-hadis yang mungkar dan juga ada
sedikit hadis-hadis yang maudhu’ (palsu).[23]
2) Syaikh
Muhammad ‘Abd ar-Rasyid an-Ni’mani al-Hindi menyatakan di dalam kitabnya yang
berjudul Ma Tamus Ilaih al-Hajah li Man Yuthali’ Sunan Ibnu Majah,
mengutip pendapat Ibn Jauzi dari kitabnya al-Maudhu’ah, bahwa
hadis-hadis Ibnu Majah ada di dalam kitab tersebut yang berstatus maudhu’
sekitar 35 hadis.[24]
3) Menurut ad-Dhahabi, Ibnu Majah adalah seorang yang
hafidz, shaduq, luas pengetahuannya, akan tetapi di dalam kitab al-Manakir,
pada kitab Ibnu Majah terdapat sedikit hadis maudhu’,[25]
4) Abu Zur’ah mengatakan bahwa hadis yang terdapat
dalam kitab Sunan Ibnu Majah yang tak dapat dipakai hujjah cukup banyak, kurang
lebih sekitar 1000 hadis.[26]
F.
Derajat Kitab Sunan Ibnu Majah
Tidak ada
informasi dari ulama terdahulu bahwa ada mungkin enam kitab yang dikategorikan
ke dalam al-Ushul as-Sittah. Hal ini
muncul secara tak sngaja, sebagai akibat proses ilmiah dalam kurun waktu kurang
lebih seperempat atau sepertiga abad, beratus-ratus buku telah disusun dan
diteliti, sehingga salah satu dari kitab tersebut saling mengunguli dan lebih
terkenal dari yang lainnya.[27]
Pada periode
terakhir, kitab Sunan Ibnu Majah menjadi
buku keenam yang paling terkenal yang disebut dengan al-Ushul As-Sittah
enam ktab-kitab yang paling prinsipil atau sering kali disebut dengan As-Sittah as-Sahih (enam kitab
sahih). Ini tidak berarti bahwa semua
hadis yang dimuat dalam keenam kitab tersebut adalah sahih. Ia hanya memberikan indikasi bahwa kebanyakan
dari hadis-hadis tersebut adalah sahih dengan pengecualiaan sahih Bukhari dan
Muslim yang hanya memuat hadis-hadis sahih.[28]
Pengarang lainnya, seperti
atau-Tirmidzi dan Abu Daud juga meriwayatkan hadis-hadis lemah, tetapi mereka
memberikan catatannya dalam kitab mereka.
Lain halnya dengan Ibnu Majah, beliau tak memberikan komentar
apa-apa. Bahkan untuk hadis dusta pun
beliau hanya mengambil sikap diam.[29]
Keberadaan kitab Sunan Ibnu Majah
ini, membuat Ibnu Majah sedikit besar hati,
karena mendapat dukungan langsung dari Abu Zur’ah. Sebagaimana
Ibnu Majah berkata, “Aku menyodorkan kitab sunan ini kepada Abu Zur’ah. Setelah ia memperlihatka kitab Ibnu Majah
kepadanya, Abu Zur’ah berkata, “Saya kira seandainya kitab ini sampai di tangan
umat, maka seluruh kitab jami’ atau sebagian besar darinya akan
terlantarkan.”[30]
Oleh sebab itu, beberapa diskusi telah digelar oleh para ulama untuk
menyimak kitab semua sunan ini.
Kenyataan kelemahan yang tampak pada sisi ini, memberikan efek terhadap
sikap para ulama tentang kitab tersebut.
Banyak ulama yang menolak memasukkan kitab sunan Ibnu Majah dalam
deretan al-Ushul as-Sittah.
Di antara ulama yang menolak memasukkan kitab Ibnu Majah sebagai kitab
yang ke enam dari Kutub as-Sittah adalah, Ibn Atsir (wafat 606 H.), Muglata’ (wafat 726
H.), Ibn Hajar (wafat 852 H.) dan Qasthalani (wafat 823 H.). [31]
Yang mula-mula memasukkan sunan Ibnu Majah ke dalam deretan al-Kutub
al-Khamsah adalah Abu al-Fadh Muhammad ibn Thahir al-Maqdisi (448-507 H.),
dalam kitabnya yang berjudul Atraf al-Kutub as-Sitah.[32]
Akan tetapi menurut salah satu pendapat, bahwa yang pertama kali mempopulerkan
kitab sunan Ibnu Majah sebagai salah satu kitab al-Kutub as-Sittah
adalah Abdul Ghani bin Abdul Wahid al-Maqdisi (wafat 600 H.).[33]
Alasan merka mendahulukan sunan Ibnu
Majah menjadi salah satu Kutub as-Sitah, karena di dalam kitab Ibnu Majah banyak
terdapat zawa’id, yaitu banyak hadis yang tidak terdapat dalam lima
kitab lainnya.[34]
Sesuai dengan fakta, untuk mengkategorikan kitab sunan Ibnu Majah sebagai
salah satu kitab al-Ushul as-Sittah atau untuk menarikna dalam deretan
tersebut, tidak akan memberikan efek tentang keberadaan kitab tersebut dengan
langkah mana pun. Karena, setiap hadis
yang dibukukan dalam kitab-kitab tesebut adalah diteliti berdasarkan hasil
usaha atau jerih payah masing-masing, tiak berpangkal tolak dari sebuah hadis
yang dikutib dari salah satu kitab yang enam tersebut.[35]
G.
Perhatian Ulama Terhadap Kitab Sunan Ibnu Majah
Ulama cukup merespon keberadaan kitab
sunan Ibnu Majah, hal ini terbukti dengan adaanya mentahqiqan yang dilakukan
oleh sebagian ulama, diantara yang mentahqiq kitab sunan Ibnu Majah adalah
Fu’ad Abdul Baqi sebagaimana telah disinggung di atas.
Bukti perhatian khusus pada kitab sunan
Ibnu Majah adalah dengan adanya bermunculan kitab syarah sunan Ibnu
Majah. Di antara kitab syarah dari sunan
Ibnu Majah adalah, az-Zujajah Syarh Sunan Ibn Majah karya Jajaluddin
as-Suyuti, Syarh Sunan Ibnu Majah susunan ‘Abd al-Hadi as-Sindi,[36]
dan al-Ibnu Majah’lam bi Sunaihi ‘Alaihi as-Salam karya Mughlati, akan
tetapi kitab syrah yang terakhir ini belum pernah terbit dan dipublikasikan.[37]
H. PENUTUP
Setelah
menyimak berbagai uraian di atas penulis bisa menyimpulkan beberapa hal, yang
di antaranya ialah:
Ibnu Majah
adalah seorang figur muhaddis yang awal
mulanya tumbuh dan berkembang dengan lingkungan yang agamis dan
berinelektual tinggi. Wajar kalau beliau
disebut-sebut oleh ulama sebagai orang yang siqah, shaduq, hafidz, , memiliki
pengetahuan yang luas, dan dapat dijadilan hujah.
Dengan bekal
kemampuan dan kecerdasannya yang beliau miliki, ia kemudian mencurahkan
pengetahuannya dengan bentuk karya ilmiah, di antara karya-karyanya
adalah: Tafsir, sejarah dan sunan
(kitab hadis).
Ulama yang
mengomentari Ibnu Majah, yang di antaranya Abu Zur’ah kelihatannya
plin-plan. Dari satu sisi dia memuji
Ibnu Majah dan pada sisi yang lain menjarh Ibnu Majah. Sehingga keberadaan
kitab Sunan Ibnu Majah masih tetap berkwalitas tinggi.
Walaupun kitab
Sunan Ibnu Majah banyak yang mengkritik, hal tersebut tidak mengurangi
eksistensinya sebagai salah satu anggota kutub as-sitah. Dan walaupun banyak kritikan tentang
hadis-hadisnya, akan tetapi keberadaan kitab Sunan Ibnu Majah merupakan
sumbangan yang sangat berharga dalam memelihara sunah Nabi Muhammad saw.
DAFTAR
PUSTAKA
‘Azami, Muhammad Mustafa, Studies in Hadith Methodology and
Literature; Terjemah, Bandung:
Pustaka Hidayah, 1996, cet. ke-2
Akram, Dhiya’
al-‘Umri, Bahus fi Tarikh as-Sunah
al-Musyarrifah, cttp., tp.,
1984c, cet. ke-4
Al-‘Asqalani, Syihab ad-Din Abi al-Fadhil Ahmad bin
Hajar, Tahdhib at-Tahdhib, (Bairut:
Dar al-Ihya’, 1993), cet. ke-2,
Jilid 6
Ad-Dawuri, Syamsu ad-Din
Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad, Thabaqat
al-Mufassirin, Libanon: Dar
al-Kutub al-‘Alamiyyah, t.th., t.cet.,
Jilid-2,
Ash-Shan’ani, Muhammad bin Isma’il , Taudhih
al-Afkar li Ma’aani Tanfih al-Anthar,
(al-Azhar; tp., tth.), cet. ke-1,
Jilid 1
Ash-Shiddieqy, Hasbi,
Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1980,
cet. ke-6,
Adh-Dhahabi, Siyar a’lam an-Nubala, Bairut: Dar al-Fikr, 1985,
t.cet.
Al-Khatib, Ajaj, Ushul
al-Hadis, Bairut: Dar
al-Fikr, 1989, t.cet
Al-Qazwini, Abi ‘Abd Allah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah; Tahqiq Shidqi Jami al-‘Athar, Bairut: Dar al-Fikr, 1995,
t.cet.
As-Suyuti, Jalaluddin Abu al-Fadhil ‘Abd ar-Rahman, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib
an-Nawawi, Bairut: Dar
al-Fikr, 1993, t.cet
Itr, Nuruddin ‘,
Manhaj an-Naqd fi Ulum al-Hadis; Terjemah, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997,
cet. ke-2
Soetari, Endang,
Ilmu Hadis Kajian Riwayah dan Dirayah, Bandung: Amal Bakti Pres, 2000),
cet. ke-3
Washil, Nashr Farid Muhammad, al-Wasid fi Ulum al-Hadis, Mesir:
Mathba’ah al-Amamah, t.th., cet. ke-1
[1]
Muhammad Mustafa ‘Azami, Studies
in Hadith Methodology and Literature;, Terjemah, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996),
Cet. ke-2, h. 159
[2]
Nashr Farid Muhammad Washil, al-Wasid
fi Ulum al-Hadis, (Mesir: Mathba’ah al-Amamah, t.th.),
cet. ke-1, h. 159
[3]
Lihat kata pengantar Kitab Sunan Ibnu Majah, (Bairut: Dar al-Fikr, 1995), h. 12;
Akram Dhiya’ al-‘Umri, Bahus
fi Tarikh as-Sunah al-Musyarrifah,
(ttp., tp., 1984),
cet. ke-4, h. 251
[5]
Syihab ad-Din Abi al-Fadhil Ahmad bin Hajar al-‘Asqalani, Tahdhib at-Tahdhib, (Bairut:
Dar al-Ihya’, 1993), cet. ke-2,
Jilid 6, h. 400; Lihat, kitab Sunan Ibnu Majah, loc. cit.; Jalaluddin Abu al-Fadhil ‘Abd ar-Rahman
as-Suyuti, Tadrib ar-Rawi fi Syarh
Taqrib an-Nawawi, (Bairut: Dar
al-Fikr, 1993), t.cet.,
h. 483
[7]
Muhammad Mustafa ‘Azami, loc. cit.
[10]
Syamsu ad-Din Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad ad-Dawuri, Thabaqat al-Mufassirin, (Libanon: Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah, t.th.),
t.cet., Jilid-2, h. 273-274
[11]
Ibn Hajar, loc. cit.
[12]
Muhammad Mustafa ‘Azami, loc. cit.
[14]
Muhammad bin Isma’il ash-Shan’ani, Taudhih al-Afkar li Ma’aani Tanfih
al-Anthar, (al-Azhar; tp., tth.),
cet. ke-1, Jilid 1, h. 222;
Adh-Dhahabi, loc. cit.; Syamsu ad-Din Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad
ad-Dawuri, loc. cit.; Nashr Farid Muhammad Washil, loc. cit.; Ibn Hajar,
loc.cit.
[15]
Muhammad Mustafa ‘Azami, loc. cit.
[18]
Ajaj al-Khatib, loc. cit.
[19]
Muhammad Mustafa ‘Azami, op. cit. h. 159;
Lihat, Akram Dhiya’ al-‘Umri, loc.
cit. ; Selanjutnya lihat, kata
pengantar Kitab Sunan Ibnu Majah,
op. cit., h. 14
[20]Penulis
tidak menemukan serara tepat dan terperinci tentang kreteria Ibnu Majah dalam
menentukan kesahihan suatu hadis.
[21] Ibid.
[23]
Ibnu Majah, op.cit., h. 13
[24] Ibid.
[26]
Adh-Dhahabi, Ibid.
[28] Ibid.
[29] Ibid.
[30]
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi
Ulum al-Hadis; Terjemah,
(Bandung: Remaja Rosdakarya,
1997), cet. ke-2, Jilid 2,
h. 43
[31]
Muhammad Mustafa ‘Azami, loc.cit.
[34] As-Suyuti, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib
an-Nawawi, op. cit., h. 107;
Endang Soetari, Ilmu Hadis
Kajian Riwayah dan Dirayah,
(Bandung: Amal Bakti Pres,
2000), cet. ke-3, h. 246
[36]
Akram Dhiya’ al-‘Umri, op. cit., h. 252;
Endang Soetari, loc. cit.; Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980),
cet. ke-6, h. 111
Tidak ada komentar:
Posting Komentar