Minggu, 06 April 2014

CONTOH SKRIPSI KUALITATIF JURUSAN USHULUDDIN





BAB I
PENDAHULUAN

A.                 Latar Belakang Masalah

Al Fatihah merupakan pembuka dari kitab al Quran,[1] terdiri dari tujuh ayat. Dan al Fatehah memiliki nama-nama lain, diantaranya, Ummul Kitab ( induk kitab al-Qur’an ), karena cakupan isinya meliputi seluruh maksud al-Quran, yaitu memuji Allah, beribadah kepadaNya, janji padaNya (wa’ad) dan ancamanNya (wa’id). Ia dinamai as-Sab’ul Masani(tujuh ayat yang diulang-ulang), karena surat ini diulang-ulang dalam membacanya setiap shalat. Ia dinamai al-Asas (landasan, dasar dan sendi), karena surat ini dipandang sebagai sendi dan urat nadi al-Quran). Ia dinamai Fatihah al-Kitab (pembuka al-Kitab), karena surat ini menjadi permulaan atau pembukaan al-Quran. Ia juga dinamai al-Kanz (perbendaharaan), al-Wafiyah (yang amat sempurna), al-Kafiyah (yang amat mencukupi), al-Hamdu (pujian), asy-Syukru (ucapan terimakasih), ad-Dua’ (seruan permohonan), as-Shalat ( sembahyang dan doa), asy-Syafiyah (penyembuh ), dan asy-Syifa (penawar). Akan tetapi menurut para mufasir nama al-Fatihah yang paling masyhur adalah : Ummul Kitab, Ummul Quran, as-Sab’ul Masani, al-Asas, dan Fatihatul Kitab.[2]
Surat al-Fatihah wajib dibaca setiap rakaat dari shalat fardhu dan sunnah[3] menurut  kesepakatan  tiga  Imam madzhab yaitu, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.  Jika seseorang meninggalkan dari membaca surat al-Fatihah, shalatnya batal.[4]
Al-Fatihah yang terdiri dari tujuh ayat itu, para mujtahid berbeda pendapat tentang kedudukan bismillah di dalamnya. Menurut Imam Hanafi, al-Fatihah merupakan ayat yang berdiri sendiri di dalam al-Quran, diturunkan untuk memisahkan di antara surat-surat dalam al-Quran, dan bukan sebagian dari surat al-Fatihah. Kalau menurut asy-Syafi’i, bahwasanya bismillah merupakan salah satu dari surat al-Fatihah, dan salah satu dari surat-surat yang lain dalam al-Quran.  Sedangkan menurut madzhab Maliki, bismillah itu bukan sebagaian dari surat al-Fatihah, dan juga bukan dari surat-surat yang lain.[5]
Perbedaan pendapat di kalangan para mujtahid tersebut, disebabkan oleh berbedanya mereka dalam mengambil hadis Nabi Muhammad saw. sebagai landasan hukum, dan pemahaman mereka terhadap hadis itu sendiri.
Hadis[6] sebagai pernyataan, pengamalan, taqrir dan hal ihwal Nabi Muhammad saw, merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an,[7] serta yang berfungsi sebagai mubaiyin (penjelasan) Al-Qur’an,[8] bisa dijadikan hujjah dalam hukum Islam kalau berstatus hadis maqbul (diterima).[9]
Para muhaddisin, dalam menentukan dapat diterimanya suatu hadis tidak mencukupkan diri hanya pada pada terpenuhinya syarat-syarat diterimanya rawi yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena hadis itu sampai kepada kita melalui mata rantai rawi yang terurai dalam sanad-sanadnya.  Oleh karena itu, haruslah terpenuhi syarat-syarat lain yang memastikan kebenaran perpindahan hadis disela-sela mata rantai sanad tesebut.  Syarat-syarat tersebut kemudian dipadukan dengan syarat-syarat diterimanya rawi, sehingga penyatuan tersebut dapat dijadikan sebagai ukuran untuk mengetahui mana hadis yang dapat diterima dan mana hadis yang harus ditolak.[10] hadis-hadis yang dapat diterima (maqbul) yaitu, hadis shahih lidzathi, hasan lidzathi, sahih lighairihi , dan hasan lighairihi.[11]
Selanjutnya, hadis shahih lidzathi adalah hakekat hadis shahih yang sebenarnya.  Menurut Ibn Shalah hadis shahih ialah, hadis musnad yang sanadnya bersambung melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabid dari orang yang adil lagi pula sampai ujungnya, tidak syadz dan tidak mu’allal (terkena ilat).[12] Imam Nawawi meringkas definisi Ibn Shalah, beliau mengatakan bahwa hadis shahih ialah, hadis yang bersambung sanadnya melalui periwayatan orang-orang yang adil lagi dhabid tanpa sadz dan illat.[13] Selanjutnya Syuhudi Ismail mengatakan, suatu hadis bisa dinilai shahih kalau terpenuhi unsur-unsur kaidah kesahihan hadis, yaitu: 
1.      Sanad hadis yang bersangkutan harus bersambung mulai dari mukharijnya sampai kepada Nabi
2.      Seluruh periwayat dalam hadis, ia harus bersifat adil dan dhabid
3.      Hadis itu sanad dan matannya harus terhindar dari kejanggalan (syudud) dan cacat (illat).[14]
Kemudian hadis hasan lidzatihi adalah, hadis yang muttashil sanadnya yang diriwayatkan oleh perawi yang adil yang lebih rendah kedhabitannya tanpa syadz dan tanpa illat.[15] Untuk menghilangkan kesamaan antara hadis shahih dan hadis hasan adalah, bahwasanya keadilan pada hadis hasan disandang oleh orang yang kurang kuat ingatannya, sedangkan pada hadis shahih seorang perawi benar-benar kuat ingatannya, dan pada keduanya selamat dari kejanggalan dan penyakit.[16]
Selanjutnya yang dimaksud dengan hadis shahih lighairihi adalah hadis yang keshahihhannya dibantu oleh adanya keterangan lain. Hadis kategori ini pada mulanya memiliki kelemahan pada aspek kedhabitan perawinya. Diantara perawinya ada yang kurang sempurna kedhabitannya, sehingga dianggap tidak memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai hadis shahih. Baginya semula hanya sampai kepada derajat atau kategori hadis hasan li dzatihi. Dengan ditemukan keterangan lain, baik berupa syahid maupun mutabi’ yang bisa menguatkan keterangan atau kandungan matannya, hadis ini derajatnya naik setingkat lebih tinggi, sehingga menjadi shahih li ghairi.[17]
Kemudian, hadis hasan lighairihi adalah, hadis hasan bukan dengan sendirinya, artinya hadis yang menduduki kualitas hasan karena dibantu oleh keterangan lain, baik karena adanya syahid atau mutabi’. Dengan pengertian ini jelaslah, bahwa hasan lighairihi kualitas asalnya dibawah hadis hasan, yakni hadis dhaif.[18]
Meskipun hadis dhaif bisa meningkat derajatnya setingkat lebih tinggi menjadi hasan, namun tidak semua hadis dhaif bisa meningkat. hadis dhaif yang bisa meningkat, hanyalah hadis-hadis yang terlalu lemah seperti hadis mursal, hadis mu’allal, hadis mubham dan hadis mastur. Sedang untuk hadis-hadis yang sangat lemah, seperti hadis maudhu’, hadis matruk dan hadis mungkar, derajatnya tidak bisa meningkat. hadis-hadis yang tersebut akan tetap berkedudukan mardud, yang berarti tidak dapat dijadikan hujjah.[19]
Hadis yang terdiri dari dua unsur, yaitu sanad dan matan dapat diketahui kemaqbulannya, harus diadakan penelitian hadis (studi takhrij).  Dengan kegiatan ini segala hadis-hadis yang dikutib dan tersebar dalam berbagai kitab, dengan pengutipan yang bermacam-macam, dan terkadang tidak memperhatikan kaidah yang berlaku, dapat segera diketahui. Dengan ini, sehingga menjadi jelas keadaannya, baik asal maupun kualitas hadis.[20]
Dalam hal ini penulis menitik beratkan pembahasan pada sanad hadis, karena para ulama’ hadis menilai sangat pentingnya kedudukan sanad dalam riwayat hadis. Karena demikian pentingnya kedudukan sanad itu, maka suatu berita yang dinyatakan sebagai hadis Nabi oleh seseorang, tetapi berita itu tidak memiliki sanad sama sekali, maka berita tersebut oleh ulama hadis tidak dapat disebut hadis. Sekiranya berita itu tetap juga dinyatakan sebagai hadis oleh orang-orang tertentu, misalnya ulama yang bukan ahli hadis, maka berita tersebut oleh ulama hadis dinyatakan sebagai hadis palsu atau hadis maudhu’.[21]
Dalam hubungannya dengan pentingnya kedudukan sanad, Muhammad bin Sirin menyatakan bahwa, sesungguhnya pengetahuan hadis adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamu itu. Maksudnya, dalam menghadapi suatu hadis, maka sangat penting diteliti terlebih dahulu para periwayat yang terlibat dalam hadis yang bersangkutan.[22]
Abdullah bin Mubarak menyatakan bahwa sanad hadis merupakan dari agama. Sekiranya sanad hadis tidak ada, niscaya siapa saja akan bebas menyatakan apa yang dikehendakinya. Pernyataan itu memberi peringatan bahwa sanad hadis merupakan bagian penting dari riwayat hadis. Kebenaran suatau hadis yang tercantum dalam berbagai kitab ditentukan  juga oleh keberadaan dan kualitas sanadnya.[23]
Terhadap pernyataan Abdullah bin Mubarak itu, imam Nawawi menjelaskan bahwa bila sanad suatu hadis berkualitas sahih, maka hadis itu dapat diterima, sedangkan sanad hadis itu tidak shahih, maka hadis tersebut harus ditinggalkan. An-Nawawi menyatakan bahwa hubungan hadis dengan sanadnya ibarat hubungan hewan dengan kakinya.[24]
Selanjutnya, berlandasankan keterangan para ulama hadis tentang pentingnya takhrij hadis di dalam memahami hukum Islam, khususnya berhubungan dengan hadis Nabi, penulis tertarik menganalisa sanad hadis yang terdapat pada hadis-hadis yang menjadi dalil Imam Malik dalam berpendapat, bahwa bismillah bukan sebagaian dari surat al-Fatihah, dan pendapat Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa bismillah adalah salah satu dari bagian surat al-Fatihah.
Berikutnya  penulis tuangkan dalam skripsi yang menitik beratkan pada tinjauan sanad hadis dengan judul, “ KEDUDUKAN BISMILLAH DALAM SURAT AL-FATEHAH MENURUT IMAM MALIK DAN IMAM SYAFI’I ” (Studi Takhrij Tinjauan Sanad Hadis).


B.     Kerangka Pemikiran 
Dalam sejarah Imam Maliki adalah salah satu orang yang mengumpulkan hadis Nabi dan membukukannya, sekumpulan hadis-hadis dan ilmu hadis dalam suatu kitab yang disebut al-Muwaththa’. Kitab ini disusun berdasarkan sistematika ilmu fiqih dan di dalamnya diterangkan pokok-pokok pikiran Imam Malik tentang ilmu fiqih, dan pokok-pokok pikiran tersebut disusun dalam bentuk suatu fatwa.[25]
Fatwa-fatwa Imam Malik dikumpulkan oleh murid-muridnya menjadi kitab yang merupakan kitab madzhab Maliki. Imam Maliki tidak menulis madzhabnya dalam suatu kitab secara lengkap. Buku-buku madzhab Imam Maliki disempurnakan oleh murid-muridnya atau sahabat terdekatnya.[26]
Imam Malik yang berpendapat bahwa bismillah bukan sebagian dari surat    al-Fatihah, berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut :[27]
1.  Hadis Anas
حديث أنس بن مالك أنه قال قمت وراء أبي بكر وعمر وعثمان فكلهم كان لا يقرأ بسم الله الرحمن الرحيم إذا افتتح الصلاة
Artinya : Dari Anas bin Malik, bahwasanya ia berkata, :  Aku berdiri (shalat) di belakang Abi Bakar, ‘Umar dan ‘Usman. Maka mereka tidak membaca Bismillahi ar-Rahmani ar-Rahim, ketika membuka shalat (al-Fatihah).



2.  Hadis ‘Aisyah

حديث عائشة قالت كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يستفتح الصلاة بالتكبير والقراءة ب الحمد لله رب العالمين
Artinya : Dari ‘Aisyah, ia mengatakan, bahwa Rasulullah saw. Menbuka shalat dengan takbir dan membaca (al-Fatihah) dengan Alhamdulillahi rabbi             al-‘Alamin.

3.  Hadis Anas
حديث أنس بن مالك قال صليت خلف النبي صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر وعثمان فكانوا يستفتحون با لحمد لله رب العالمين لا يذكرون بسم الله الرحمن الرحيم في أول قراءة ولا في آخرها
Hadis dari Anas bin Malik katanya,  aku shalat di belakang Nabi saw., Abiu Bakar, ‘Umar, dan ‘Usman.  Mereka membuka shalat dengan membaca          al-Hamdulullah Rabil  al-‘Alamain, tidak mengucapkan bismillah ar-Rahman ar-Rahim pada awal bacaan (al-Fatihah) dan tidak pula pada akhirnya.

4.  Hadis Abi Hurairah
حديث أبي هريرة سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول قال الله تعالى قسمت الصلاة بيني وبين عبدي نصفين ولعبدي ما سأل فإذا قال العبد الحمد لله رب العالمين قال الله تعالى حمدني عبدي وإذا قال الرحمن الرحيم قال الله تعالى أثنى علي عبدي وإذا قال مالك يوم الدين قال مجدني عبدي وقال مرة فوض إلي عبدي فإذا قال إياك نعبد وإياك نستعين قال هذا بيني وبين عبدي ولعبدي ما سأل فإذا قال اهدنا الصراط المستقيم صراط الذين أنعمت عليهم غير المغضوب عليهم ولا الضالين قال هذا لعبدي ولعبدي ما سأل
Hadis dari Abi Hurairah katanya, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, bahwa Allah Ta’ala berfirman : Shalat itu Aku bagi dua antara Aku dan hamba-Ku, untuk hamba-Ku ialah apa yang diminta.  Apabila dia mengucapkan Alhamdu lillahi Rabbil ‘alamin, Allah menjawab hamba-Ku memuji-ku. Apabila dia mengucapkan ar-Rahmani ar-Rahim, Allah menjawab hamba-Ku menyanjung-Ku.  Apabila dia mengucapkan Maliki yaumi ad-din, Allah menjawab, hamba-Ku mengagungkan-Ku atau hamba-Ku berserah diri kepada-Ku.  Apabila dia mengucapkan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, Allah menjawab ninilah bagian-Ku dan Hamba-Ku untuk hamba-Ku terserah yang diminta.  Apabila ia mengucapkan ihdina ash-shirata al-mustaqim, shirata al-ladhina an’amta ‘alaihim ghairi al-magdhubi ‘alaihim wa la al-dhallin, Allah menjawab ini bagian hamba-Ku dan untuknya apa yang diminta.    
           
5.   Sekiranya bismillah itu termasuk ayat dalam surat al-Fatihah maka hal ini berarti telah terjadi pengulangan kata dalam dua pernyataan, sehingga surat tersebut menjadi bismillahi ar-Rahman ar-Rahim, al-hamdu lillahi Rabbi al-‘Alamin,           ar-Rahman ar-Rahim.  Yang demikian ini merusak susunan puitis yang mulya itu.[28]
6. Ditulisnya bismillah pada surat-surat hanyalah untuk keberkatan, dan untuk mentaati perintah mengucapkannya dan memulai dengannya dalam mengawali pekerjaan.  Maka sekalipun baismillah ditulis setiap pembukaan surat, namun tidak berarti bahwa ia menunjukkan ayatnya dari surat tersebut.[29]
Dalil-dalil yang tersebut di atas itu semua menjadi dalil Imam Malik dalam berpendapat, bahwa bismillah itu bukan sebagian dari al-Fatihah.  
Berdasarkan pendapat Imam Malik yang mengatakan bahwa bismillah itu bukan sebagian dari surat al-Fatihah, yang mana pendapat tersebut menjadi salah satu penyebab terjadi kesalah pahaman dikalangan orang awam, dan bertentangan dengan teks al-Qu’ran mushaf Usmani yang biasa digunakan oleh masyarakat, serta bertentangan dengan madzhab yang dipegang oleh umat Islam yang beraliran salaf di Indonesia pada umumnya.
Selanjutnya Imam Syafi’i merupakan salah satu imam fiqih yang madhabnya dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Apabila masyarakat yang menganut madhab Syafi’i  jika mendengar hal baru yang berkaitan dengan hukum, serta bertolak belakang dengan pemahaman fiqih mereka, tentunya mereka akan menolak hal tersebut, bahkan mereka menganggap pemahaman yang tidak sama dengan paham fiqih mereka dianggap sesat. 
Kejadian tentang penolakan paham lain yang tidak sesuai dengan paham yang biasa dipakai, itu biasa terjadi dikalangan masyarakat.  Khususnya tingkatan masyarakat yang pendidikan agamanya kurang, atau masyarakat yang biasa mengkaji kitab-kitab klasik yang bermadhab Syafi’i.
Salah satu kesalah pahaman mereka (bermadhab Syafi’i) ialah, bahwa orang yang sedang melaksanakan shalat dan apabila membaca al-Fatihah, itu harus dimulai dengan membaca bismillah, karena bismillah itu sebagian dari surat al-Fatihah.  Siapa saja yang sedang membaca al-Fatihah di dalam shalat tanpa dimulai dengan bacaan bismillah di dalamnya maka shalatnya batal, bahkan ada sebagian lagi masyarakat yang mengatakan,”Orang yang berpendapat bismillah bukan sebagian dari surat al-Fatihah adalah pemahaman yang sesat”.
Imam Syafi’i perpendapat bahwa bismillah merupakan salah satu dari surat al-Fatihah, juga berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut : [30]
1.  Hadis Ibnu Abbas
حديث ابن عباس قال كان النبي صلى الله عليه وسلم يفتتح صلا ته ب بسم الله الرحمن الرحيم
Hadis Ibnu Abbas, katanya Nabi Muhammad saw. membuka shalatnya (membaca al-Fatihah) dengan bismillahi ar-Rahman ar-Rahim.

2.  Hadis Qatadah
حديث قتادة قال سئل أنس كيف كانت قراءة النبي صلى الله عليه وسلم فقال كانت مدا ثم قرأ بسم الله الرحمن الرحيم يمد ببسم الله ويمد بالرحمن ويمد بالرحيم


3.  Hadis Anas

حديث أ نس قال بينا رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات يوم بين أظهرنا إذ أغفى إغفاءة ثم رفع رأسه متبسما فقلنا ما أضحكك يا رسول الله قال أنزلت علي آنفا سورة فقرأ بسم الله الرحمن الرحيم إنا أعطيناك الكوثر فصل لربك وانحر إن شانئك هو الأبتر
Dari Anas katanya, pada suatu hari, ketika kami bersama Rasulullah saw., tiba-tiba beliau tertidur sebentar, kemudian beliau mengangkat kepalanya sambil tersenyum.  Kami bertanya.”Mengapa anda tersenyum, ya Rasulullah ?” Beliau menjawab, sebentar ini turun kepadaku sebuah surat.  Lalu dibacakan oleh beliau : Inna a’tainaka al-kausar, fa shalli li Rabbika wanhar, inna syaniaka huwa al-abtar.
            Hadis yang baru disebutkan di atas menunjukkan bahwa bismillah itu sebagian dari tiap-tiap surat di dalam al-Qur'an  juga.  Dengan dalil, bahwa buktinya Rasulullah saw. membaca bismillah pada surat al-Kausar.[31] 
4.  Sedangkan dalil logika yang digunakan Imam Syafi’i ialah, bahwasanya mushhaf para imam ditulis bismillah pada awal surat al-Fatihah dan setiap surat yang terdapat di dalam al-Qur'an, kecuali surat Bara’ah.  Bismillah juga ditulis di dalam mushaf-mushaf yang dikirim ke negeri-negeri, dan yang menukil dari mushaf imam, selanjutnya  secara turun temurun tradisi ini diikuti terus, sedang telah diketahui bahwa mereka tidak menulis apapun dalam mushaf yang bukan berasal dari al-Qur'an, dan mereka sangat keras dalam menjaga hal ini, sampai-sampai mereka menolak penulisan tentang pembagian mushaf dalam bagian-bagiannya, serta penulisan nama-nama surat dan pembubuhan noktah pada huruf-huruf  bernoktah.[32]
Apa yang terdapat dari kesemuaannya tersebut di atas  dalam mushaf pada masa-masa kemudian, kesemuaannya itu telah ditulis tidak menurut tulisan mushaf, dan dipakai tinta yang bukan tinta yang lazim dipakai sebelumnya dalam penulisan mushaf.  Hal ini semua dilakukan demi memeliharanya jangan sampai al-Qur'an disusupi oleh sesuatu yang bukan berasal dari al-Qur'an.[33]  
Maka oleh karena itu bismillah yang terdapat dalam surat al-Fatihah dan yang di dalam pembukaan surat-surat al-Qur’an merupakan bukti bahwa bismillah adalah salah satu ayat dari setiap surat al-Qur'an.[34]
Sehubungan dengan perbedaan pendapat kedua imam tersebut seputar kedudukan bismillah dalam surat al-Fatihah, penulis tertarik untuk meneliti kualitas hadis yang menjadi landasan hukum Imam malik dan Imam Syafi’i tersebut, kemudian masalah yang menjadi kajian penelitian dirumuskan dari segi kualitas sanad-sanad hadis yang menjadi landasan hukum imam Malik dalam berpendapat, bahwa bismillah itu bukan sebagian dari surat al-Fatihah, dan pendapat Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa bismillah salah satu bagian dari surat al-Fatihah.

C.     Perumusan   Masalah 
Adapun pokok permasalahan yang menjadi obyek penelitian penulis sebagai berikut :
a.       Bagaimana dalil hadis yang digunakan oleh Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang kedudukan bismillah dalam al-Fatihah ?
b.      Bagaimana kedudukan sanad hadis yang dijadikan landasan hukum Imam Malik dan Imam Syafi’i  tentang bismillah dalam surat al-Fatihah ?
c.       Bagaimana kualitas sanad hadis yang menjadi dalil Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang kedudukan bismillah dalam surat al-Fatihah ?

D.    Tujuan Penelitian
Dari perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :
a.       Untuk mengetahui hadis-hadis yang digunakan menjadi dalil oleh Imam Maliki dan Imam Syafi’i,  tentang kedudukan bismillah dalam surat al-Fatihah
b.      Untuk mengetahui kedudukan sanad-sanad hadis yang menjadi landasan hukum Imam Malik dan Imam Syafi’i, tentang kedudukan bismillah dalam surat            al-Fatihah
c.       Untuk mengetahui kualitas sanad-sanad hadis yang menjadi dalil Imam malik dan Imam Syafi’i, tentang kedudukan bismillah dalam surat al-Fatehah.

E.     Langkah-langkah Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan langkah-langkah sebagai berikut :
a.       Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data penulis menggunakan penelitian kepustakaan (library research), yaitu mengumpulkan dari buku-buku yang yang bersifat primer, di antaranya kitab matan hadis yaitu, Kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan an-Nasa’i, Sunan at-Tirmizi, Sunan Ibnu Majah, Sunan          ad-Darimi, al-Muwatta, Musnad Ahmad bin Hanbal, dan Musnad Syafi’i. Dan Mengumpulkan data dari buku-buku yang bersifat sukender, di antaranya yaitu, kitab Tabaqat, Tarih ar-Ruwah, dan Jarh wa Ta’dil.


b.      Pengolahan data
Selanjutnya setelah mengumpulkan data.  Data yang telah ada itu diskriptifkan, untuk kemudian dianalisa agar menyentuh inti permasalahan.  Dalam pengolahan data ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut :
1.      Menyusun sanad hadis dan menjelaskan kualitas hadis
2.      Meneliti silsilah sanad hadis
3.      Menganalisa kualitas hadis dengan menggunakan teori, “ At-ta’dil muqaddamu ‘ala al-Jarh.”     
4.      Analisa data menentukan kesimpulan akhir sanad-sanad hadis.

c.       Teknik Penulisan
Penulisan sekripsi ini berpedoman kepada :
1.      Pedoman Penulisan Sekripsi, Tesis, dan Desertasi IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2000
2.      Buku Metodologi Penelitian Hadis Nabi, karangan Syuhudi Ismail, tahun 1992, penerbit  PT Bulan Bintang,  Jakarta

F.      Sistematika Pembahasan

Sistematika ini merupakan gambaran keseluruhan dari sekripsi ini, sehingga akan mudah untuk dipahami. Sistemaika ini penulis susun menjadi lima bab, dan dari bab-bab tersebut dibagi menjadi sub bab sebagai berikut :
Bab pertama, Pendahuluan, meliputi : Latar belakang masalah, kerangka pemikiran, perumusan masalah, tujuan penelitian, langkah-langkah penelitain, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua, Riwayat hidup Imam Malik, meliputi : Latar belakang keluarga, pendidikan, dan karir Imam Malik, landasan hukum Imam Malik dalam membentuk madzhabnya, dan pandangan ulama terhadap Imam Malik
Bab ketiga, Riwayat hidup Imam Syafi’i, meliputi : Latar belakang keluarga, pendidikan, dan karir Imam Syafi’i, landasan hukum Imam Syafi’i dalam membentuk madzhabnya, dan pandangan ulama terhadap Imam Syafi’i.
Bab keempat,  Takhrij hadis tentang bacaan bismillah dalam surat al-Fatihah menurut Iimam Malik dan Imam Syafi’, meliputi : Matan hadis tentang bismillah, alasan penggunaan dan kandungannya, sanad hadis tentang bismillah dan analisis kualitas hadis
Bab kelima, Penutup, meliputi :  Kesimpulan dan saran-saran.
DAFTAR PUSTAKA

















[1]Al-Qur’an menurut bahasa berasal dari kata qara’a, qira’atan, dan qur’anan yang berarti bacaan, sedangkan al-Qur’an menurut istilah ialah, Kalam atau Firman Allah yang diturunkan kepada penutup para Nabi dan Rasul, (Muhammad saw.) yang disampaikan kepada kita secara mutawatir, suatu ibadah apabila membacanya, diawali dari surat al-Fatihah dan diakhiri surat an-Nas.  Lihat  Manna’ al-Qatan,  Mabahis fi Ulum al-Qur’an,  (tt.,  tpn.,  tth.),  cet. ke-3,  h. 20-21; Shubhi Shalih,  Mabahis fi Ulum al-Qur’an,  (Bairut : Dar al-‘Ilmi lil Malayin,  1988),  cet. ke-17,  h. 18-21;  Muhammad ash-Shabuni,  at-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an,  (Bairut : ‘Alim al-Kutub,  1985),  cet. ke-1,  h. 8;  Muhammad Abdu al-‘Adhim az-Zarqani,  Manahilu al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an,  (Bairut : Dar al-Fikr,  1988),  t. cet.,  h. 14-15  
[2] Tengku Muhammad Hasbi asy-Shiddiqy,  Tafsir al-Qur’an Majid,  ( Semarang:  Pustaka Rizki Putra ,  1991 ),  cet. ke-4,  Jilid 1,  h. 5 ;  Wahbah al-Zuhayli,  Tafsir al-Munir,  ( Damaskus:  Dar al-Fikr,  1991 ),  cet.ke-1,  Jilid 1,  h. 54

[3] Syayid Sabiq,  Fiqh as-Sunah,  (Bairut:  Dar al-Fikr,  1983),  cet. ke-4,  Jilid 1,  h. 114

[4] Abdu ar-Rahman al-Juzairi,  Kitab Fiqh ‘ala al-Madzhab al-Arba’ah,  (Bairut:  Dar al-Fikr,  1992),  cet.  ke-1,  Jilid 1,  h. 218 ;  Muhammad Jawad Mugniyah,  al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah diterjemahkan ke dalam buku Fiqih Lima Madzhab,  (Jakarta:  PT Lentera Basritama,  1996),  cet.ke-2,  h. 107

[5] Muhammad ‘Ali as-Sabuni,  Tafsir Ayat al-Ahkam,  (Bairut:  Dar al-Fikr,  t.th.),  t. cet.,  Jilid 1,  h. 47;  Wahbah al-Zuhayli,  op. cit.,  h. 46 ;  ‘Alau ad-Din ,Ali bin Muhammad al-Bagdadi,  Tafsir al-Khazin,  (Bairut:  Dar al-Fikr,  t.th.),  t. cet.,  Jilid 1,  h. 11 ;  Ibnu Rusyd,  Bidayatul al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid,  (Bairut:  Dar al-Fikr,  1995),  t. cet.,  Jilid 1,  h. 102

[6] Hadis menurut bahasa adalah baru, ucapan, perkataan, kabar, berita, cerita, sedangkan kalau menurut istilah adalah, segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., baik dari segi ucapan, perbuatan, dan taqrir.  Lihat  Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlar,  Kamus Kontemporer Arab Indonesia,  (Yogyakarta : Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak,  1996),  cet. ke-1, h.  747;  Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis,  (Surabaya : Syirkah Bankul Indah,  tth.),  t. cet.,  h. 15;  Muhammad ‘Ajaj al-Khatib,  Usul al-Hadis,  (Bairut : Dar al-Fikr,  1989),  t. cet.,  h. 26-26;  Shuhudi Ismail,  Kaedah Kesahihah Sanad Hadis,  Jakarta : Bulan Bintang,  1995),  cet. ke-2,  h. 26-27;  Utang Ranuwijaya,  Ilmu Hadis,  (Jakarta : Gema Media Pratama,  2001),  cet. ke-4,  h. 1-4 

[7] Syuhudi Ismail,  Kaedah Kesahihan Sanad Hadis,  (Jakarta:  PT Bulan Bintang,  1995),  cet. ke-2,  h. 3


[8]Shuhudi Ismail,  Pengantar Ilmu Hadis,  (Bandung:  Angkasa,  1994),  cet. ke-10,  h. 45;  Nuruddin ‘Itr,  Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis,  (Bandung:  PT Remaja Rosdakarya,  1995),  cet. ke-2,  Jilid 1,  h. 2;  Muhammad Mustafa ‘Azami,  Studies in Hadith Methodology and Literature diterjemahkan ke dalam buku Metodologi Kritik hadis,  (Bandung:  Pustaka Hidayah,  1996),  cet. ke-2,  h. 22

[9]Mahmud at-Thahan,  Taisir Mushthalah al-Hadis,  (Surabaya:  Syirkah Bankul Indah,  t.th.),  t. cet.,  h. 32

[10]Nuruddin ‘Itr,  op. cit.,  Jilid 2,  h. 1

[11] Mahmud at-Thahan,  op. cit.,  h. 33

[12] Al-Hafid Zain ad-Din ‘Abd ar-Rahman bin Husain al-‘Iraqi,  al-Taqyid wa al-Idhah Syarh Muqoddimah Ibn as-Shalah,  (Bairut:  Dar al-Fikr,  t.th.),  t. cet.,  h. 20

[13]Imam Jalal ad-Din Abu al-Fadhil ‘Abd ar-Rahman as-Suyuti,  Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi,  (Bairut:  Dar al-Fikr,  1993),  t.cet.,  h. 31;  Muhammad ‘Ajaj al-Khatib,  Usul al-Hadis Ulumuhu wa Mushthalah ,  (Bairut:  Dar al-Fikr,  1989),  t.cet., h.

[14]Syuhudi Ismail,  Metodologi Penelitian Hadis,  (Jakarta:  PT Bulan Bintang,  1992),  cet. ke-1,  h. 64  

[15] Muhammad ‘Ajaj al-Khatib,  op. cit., h.  333

[16]Subhi as-Shalah,  Ulum al-Hadis wa Mushthalahu,  (Bairut:  Dar al-‘Ilm li Malayin,  1988),  cet. ke-17,  h. 156;  Nuruddin ‘Itr,  op. cit.,  h. 27

[17]Utang Ranuwijaya,  Ilmu Hadis,  (Jakarta:  Gaya Media Pratama,  2001),  cet. ke-4,  h. 166;  Ahmad Qadir Hasan,  Ilmu Mushthalah al-Hadis,  (Bandung:  Cv Diponegoro,  1983),  cet. ke-2,  h. 31;  Suhudi Ismail,  op. cit.,  h. 181 

[18]Ibid.,  h. 173;  Nuruddin ‘Itr,  op. cit.,  h. 32-34;  Ahmad Qadir Hasan,  op. cit.,  h. 73

[19]Ibid. ;  Abdul Qadir Hasan,  op. cit.,  h. 73;  Suhudi Ismail,  op. cit.,  h. 182

[20]Ibid.,  h. 114

[21]Syuhudi Ismail,  op. cit.,  h. 23-24

[22]Ibid.

[23]Ibid.

[24]Ibid.
[25] Bahri Ghazali dan Djumadris,  Perbandingan Madzhab,  (Jakarta:  Pedoman Ilmu Jaya,  1992),  cet. ke-1,  h. 64

[26] Ibid.

[27] Imam Malik,  al-Muwaththa,  (Bairut : Dar al-Fikr,  1989),  cet. ke-1;  Ibn Rush,  loc. cet.; Muhammad ‘Ali ash-Shabuni,  loc. cit.;  Sayid Sabiq,  loc. cit.;  al-Khazin,  loc. cit. 
[28] Muhammad ‘Ali ash-Shabuni,   h. 40

[29] Ibid.
[30] Hadis-hadis ini dikutib dari: al-Imam Abi ‘Abd Allah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i,  Musnad al-Imam asy-Syafi’i,  (Bairut : Dar al-Fikr,  1992),  cet. ke-1,  h. 99-100;  Ibn Rush,  loc. cit.;  Muhammad ‘Ali ash-Shabuni,  loc. cit.;  Sayid Sabiq,  loc. cit.;  al-Khazin,  loc. cit.
[31] Muhammad ‘Ali ash-Shabuni,   h. 48

[32] Ibid.

[33] Ibid.

[34] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar