BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al Fatihah
merupakan pembuka dari kitab al Quran,[1]
terdiri dari tujuh ayat. Dan al Fatehah memiliki nama-nama lain, diantaranya,
Ummul Kitab ( induk kitab al-Qur’an ), karena cakupan isinya meliputi seluruh
maksud al-Quran, yaitu memuji Allah, beribadah kepadaNya, janji padaNya (wa’ad)
dan ancamanNya (wa’id). Ia dinamai as-Sab’ul Masani(tujuh ayat yang
diulang-ulang), karena surat ini diulang-ulang dalam membacanya setiap shalat.
Ia dinamai al-Asas (landasan, dasar dan sendi), karena surat ini dipandang
sebagai sendi dan urat nadi al-Quran). Ia dinamai Fatihah al-Kitab (pembuka
al-Kitab), karena surat ini menjadi permulaan atau pembukaan al-Quran. Ia juga
dinamai al-Kanz (perbendaharaan), al-Wafiyah (yang amat sempurna), al-Kafiyah
(yang amat mencukupi), al-Hamdu (pujian), asy-Syukru (ucapan terimakasih),
ad-Dua’ (seruan permohonan), as-Shalat ( sembahyang dan doa), asy-Syafiyah
(penyembuh ), dan asy-Syifa (penawar). Akan tetapi menurut para mufasir nama
al-Fatihah yang paling masyhur adalah : Ummul Kitab, Ummul Quran, as-Sab’ul
Masani, al-Asas, dan Fatihatul Kitab.[2]
Surat al-Fatihah
wajib dibaca setiap rakaat dari shalat fardhu dan sunnah[3]
menurut kesepakatan tiga
Imam madzhab yaitu, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Jika seseorang meninggalkan dari membaca
surat al-Fatihah, shalatnya batal.[4]
Al-Fatihah yang
terdiri dari tujuh ayat itu, para mujtahid berbeda pendapat tentang kedudukan
bismillah di dalamnya. Menurut Imam Hanafi, al-Fatihah merupakan ayat yang berdiri
sendiri di dalam al-Quran, diturunkan untuk memisahkan di antara surat-surat
dalam al-Quran, dan bukan sebagian dari surat al-Fatihah. Kalau menurut
asy-Syafi’i, bahwasanya bismillah merupakan salah satu dari surat al-Fatihah,
dan salah satu dari surat-surat yang lain dalam al-Quran. Sedangkan menurut madzhab Maliki, bismillah
itu bukan sebagaian dari surat al-Fatihah, dan juga bukan dari surat-surat yang
lain.[5]
Perbedaan pendapat
di kalangan para mujtahid tersebut, disebabkan oleh berbedanya mereka dalam
mengambil hadis Nabi Muhammad saw. sebagai landasan hukum, dan pemahaman mereka
terhadap hadis itu sendiri.
Hadis[6]
sebagai pernyataan, pengamalan, taqrir dan hal ihwal Nabi Muhammad saw,
merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an,[7]
serta yang berfungsi sebagai mubaiyin (penjelasan) Al-Qur’an,[8]
bisa dijadikan hujjah dalam hukum Islam kalau berstatus hadis maqbul
(diterima).[9]
Para muhaddisin,
dalam menentukan dapat diterimanya suatu hadis tidak mencukupkan diri hanya
pada pada terpenuhinya syarat-syarat diterimanya rawi yang bersangkutan. Hal
ini disebabkan karena hadis itu sampai kepada kita melalui mata rantai rawi
yang terurai dalam sanad-sanadnya. Oleh
karena itu, haruslah terpenuhi syarat-syarat lain yang memastikan kebenaran
perpindahan hadis disela-sela mata rantai sanad tesebut. Syarat-syarat tersebut kemudian dipadukan
dengan syarat-syarat diterimanya rawi, sehingga penyatuan tersebut dapat
dijadikan sebagai ukuran untuk mengetahui mana hadis yang dapat diterima dan
mana hadis yang harus ditolak.[10]
hadis-hadis yang dapat diterima (maqbul) yaitu, hadis shahih lidzathi, hasan
lidzathi, sahih lighairihi , dan hasan lighairihi.[11]
Selanjutnya, hadis
shahih lidzathi adalah hakekat hadis shahih yang sebenarnya. Menurut Ibn Shalah hadis shahih ialah, hadis
musnad yang sanadnya bersambung melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabid
dari orang yang adil lagi pula sampai ujungnya, tidak syadz dan tidak mu’allal
(terkena ilat).[12] Imam Nawawi meringkas
definisi Ibn Shalah, beliau mengatakan bahwa hadis shahih ialah, hadis yang
bersambung sanadnya melalui periwayatan orang-orang yang adil lagi dhabid tanpa
sadz dan illat.[13] Selanjutnya Syuhudi
Ismail mengatakan, suatu hadis bisa dinilai shahih kalau terpenuhi unsur-unsur
kaidah kesahihan hadis, yaitu:
1. Sanad hadis yang bersangkutan harus
bersambung mulai dari mukharijnya sampai kepada Nabi
2. Seluruh periwayat dalam hadis, ia harus
bersifat adil dan dhabid
3. Hadis itu sanad dan matannya harus
terhindar dari kejanggalan (syudud) dan cacat (illat).[14]
Kemudian hadis
hasan lidzatihi adalah, hadis yang muttashil sanadnya yang diriwayatkan oleh
perawi yang adil yang lebih rendah kedhabitannya tanpa syadz dan tanpa illat.[15]
Untuk menghilangkan kesamaan antara hadis shahih dan hadis hasan adalah,
bahwasanya keadilan pada hadis hasan disandang oleh orang yang kurang kuat
ingatannya, sedangkan pada hadis shahih seorang perawi benar-benar kuat
ingatannya, dan pada keduanya selamat dari kejanggalan dan penyakit.[16]
Selanjutnya yang
dimaksud dengan hadis shahih lighairihi adalah hadis yang keshahihhannya
dibantu oleh adanya keterangan lain. Hadis kategori ini pada mulanya memiliki
kelemahan pada aspek kedhabitan perawinya. Diantara perawinya ada yang kurang
sempurna kedhabitannya, sehingga dianggap tidak memenuhi syarat untuk
dikategorikan sebagai hadis shahih. Baginya semula hanya sampai kepada derajat
atau kategori hadis hasan li dzatihi. Dengan ditemukan keterangan lain, baik
berupa syahid maupun mutabi’ yang bisa menguatkan keterangan atau kandungan
matannya, hadis ini derajatnya naik setingkat lebih tinggi, sehingga menjadi
shahih li ghairi.[17]
Kemudian, hadis
hasan lighairihi adalah, hadis hasan bukan dengan sendirinya, artinya hadis
yang menduduki kualitas hasan karena dibantu oleh keterangan lain, baik karena
adanya syahid atau mutabi’. Dengan pengertian ini jelaslah, bahwa hasan
lighairihi kualitas asalnya dibawah hadis hasan, yakni hadis dhaif.[18]
Meskipun hadis
dhaif bisa meningkat derajatnya setingkat lebih tinggi menjadi hasan, namun
tidak semua hadis dhaif bisa meningkat. hadis dhaif yang bisa meningkat,
hanyalah hadis-hadis yang terlalu lemah seperti hadis mursal, hadis mu’allal,
hadis mubham dan hadis mastur. Sedang untuk hadis-hadis yang sangat lemah,
seperti hadis maudhu’, hadis matruk dan hadis mungkar, derajatnya tidak bisa
meningkat. hadis-hadis yang tersebut akan tetap berkedudukan mardud, yang
berarti tidak dapat dijadikan hujjah.[19]
Hadis yang terdiri
dari dua unsur, yaitu sanad dan matan dapat diketahui kemaqbulannya, harus
diadakan penelitian hadis (studi takhrij).
Dengan kegiatan ini segala hadis-hadis yang dikutib dan tersebar dalam
berbagai kitab, dengan pengutipan yang bermacam-macam, dan terkadang tidak
memperhatikan kaidah yang berlaku, dapat segera diketahui. Dengan ini, sehingga
menjadi jelas keadaannya, baik asal maupun kualitas hadis.[20]
Dalam hal ini
penulis menitik beratkan pembahasan pada sanad hadis, karena para ulama’ hadis
menilai sangat pentingnya kedudukan sanad dalam riwayat hadis. Karena demikian
pentingnya kedudukan sanad itu, maka suatu berita yang dinyatakan sebagai hadis
Nabi oleh seseorang, tetapi berita itu tidak memiliki sanad sama sekali, maka
berita tersebut oleh ulama hadis tidak dapat disebut hadis. Sekiranya berita
itu tetap juga dinyatakan sebagai hadis oleh orang-orang tertentu, misalnya
ulama yang bukan ahli hadis, maka berita tersebut oleh ulama hadis dinyatakan
sebagai hadis palsu atau hadis maudhu’.[21]
Dalam hubungannya
dengan pentingnya kedudukan sanad, Muhammad bin Sirin menyatakan bahwa,
sesungguhnya pengetahuan hadis adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu
mengambil agamu itu. Maksudnya, dalam menghadapi suatu hadis, maka sangat
penting diteliti terlebih dahulu para periwayat yang terlibat dalam hadis yang
bersangkutan.[22]
Abdullah bin
Mubarak menyatakan bahwa sanad hadis merupakan dari agama. Sekiranya sanad
hadis tidak ada, niscaya siapa saja akan bebas menyatakan apa yang
dikehendakinya. Pernyataan itu memberi peringatan bahwa sanad hadis merupakan
bagian penting dari riwayat hadis. Kebenaran suatau hadis yang tercantum dalam
berbagai kitab ditentukan juga oleh
keberadaan dan kualitas sanadnya.[23]
Terhadap pernyataan Abdullah bin Mubarak
itu, imam Nawawi menjelaskan bahwa bila sanad suatu hadis berkualitas sahih,
maka hadis itu dapat diterima, sedangkan sanad hadis itu tidak shahih, maka
hadis tersebut harus ditinggalkan. An-Nawawi menyatakan bahwa hubungan hadis
dengan sanadnya ibarat hubungan hewan dengan kakinya.[24]
Selanjutnya, berlandasankan keterangan
para ulama hadis tentang pentingnya takhrij hadis di dalam memahami hukum
Islam, khususnya berhubungan dengan hadis Nabi, penulis tertarik menganalisa
sanad hadis yang terdapat pada hadis-hadis yang menjadi dalil Imam Malik dalam
berpendapat, bahwa bismillah bukan sebagaian dari surat al-Fatihah, dan
pendapat Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa bismillah adalah salah satu dari
bagian surat al-Fatihah.
Berikutnya penulis tuangkan dalam skripsi yang menitik
beratkan pada tinjauan sanad hadis dengan judul, “ KEDUDUKAN BISMILLAH DALAM
SURAT AL-FATEHAH MENURUT IMAM MALIK DAN IMAM SYAFI’I ” (Studi Takhrij Tinjauan
Sanad Hadis).
B. Kerangka Pemikiran
Dalam sejarah Imam
Maliki adalah salah satu orang yang mengumpulkan hadis Nabi dan membukukannya,
sekumpulan hadis-hadis dan ilmu hadis dalam suatu kitab yang disebut al-Muwaththa’.
Kitab ini disusun berdasarkan sistematika ilmu fiqih dan di dalamnya
diterangkan pokok-pokok pikiran Imam Malik tentang ilmu fiqih, dan pokok-pokok
pikiran tersebut disusun dalam bentuk suatu fatwa.[25]
Fatwa-fatwa Imam
Malik dikumpulkan oleh murid-muridnya menjadi kitab yang merupakan kitab
madzhab Maliki. Imam Maliki tidak menulis madzhabnya dalam suatu kitab secara
lengkap. Buku-buku madzhab Imam Maliki disempurnakan oleh murid-muridnya atau
sahabat terdekatnya.[26]
Imam Malik yang
berpendapat bahwa bismillah bukan sebagian dari surat al-Fatihah, berdasarkan dalil-dalil sebagai
berikut :[27]
1. Hadis Anas
حديث
أنس بن مالك أنه قال قمت وراء أبي بكر وعمر وعثمان فكلهم كان لا يقرأ بسم الله
الرحمن الرحيم إذا افتتح الصلاة
Artinya : Dari Anas bin Malik, bahwasanya ia berkata,
: Aku berdiri (shalat) di belakang Abi
Bakar, ‘Umar dan ‘Usman. Maka mereka tidak membaca Bismillahi ar-Rahmani
ar-Rahim, ketika membuka shalat (al-Fatihah).
2.
Hadis ‘Aisyah
حديث
عائشة قالت كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يستفتح الصلاة بالتكبير والقراءة ب الحمد
لله رب العالمين
Artinya : Dari
‘Aisyah, ia mengatakan, bahwa Rasulullah saw. Menbuka shalat dengan takbir dan
membaca (al-Fatihah) dengan Alhamdulillahi rabbi al-‘Alamin.
3. Hadis Anas
حديث
أنس بن مالك قال صليت خلف النبي صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر وعثمان فكانوا
يستفتحون با
لحمد لله رب العالمين لا يذكرون بسم الله الرحمن الرحيم في أول قراءة ولا في
آخرها
Hadis dari Anas bin Malik katanya, aku shalat di belakang Nabi saw., Abiu Bakar,
‘Umar, dan ‘Usman. Mereka membuka shalat
dengan membaca al-Hamdulullah
Rabil al-‘Alamain, tidak mengucapkan
bismillah ar-Rahman ar-Rahim pada awal bacaan (al-Fatihah) dan tidak pula pada
akhirnya.
4. Hadis Abi Hurairah
حديث أبي هريرة سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول قال الله تعالى قسمت الصلاة بيني وبين
عبدي نصفين ولعبدي ما سأل فإذا قال العبد الحمد لله رب العالمين قال الله تعالى
حمدني عبدي وإذا قال الرحمن الرحيم قال الله تعالى أثنى علي عبدي وإذا قال مالك
يوم الدين قال مجدني عبدي وقال مرة فوض إلي عبدي فإذا قال إياك نعبد وإياك نستعين
قال هذا بيني وبين عبدي ولعبدي ما سأل فإذا قال اهدنا الصراط المستقيم صراط الذين
أنعمت عليهم غير المغضوب عليهم ولا الضالين قال هذا لعبدي ولعبدي ما سأل
Hadis dari Abi Hurairah katanya, aku mendengar Rasulullah saw.
bersabda, bahwa Allah Ta’ala berfirman : Shalat itu Aku bagi dua antara Aku dan
hamba-Ku, untuk hamba-Ku ialah apa yang diminta. Apabila dia mengucapkan Alhamdu lillahi Rabbil
‘alamin, Allah menjawab hamba-Ku memuji-ku. Apabila dia mengucapkan ar-Rahmani
ar-Rahim, Allah menjawab hamba-Ku menyanjung-Ku. Apabila dia mengucapkan Maliki yaumi ad-din,
Allah menjawab, hamba-Ku mengagungkan-Ku atau hamba-Ku berserah diri
kepada-Ku. Apabila dia mengucapkan
iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, Allah menjawab ninilah bagian-Ku dan
Hamba-Ku untuk hamba-Ku terserah yang diminta.
Apabila ia mengucapkan ihdina ash-shirata al-mustaqim, shirata al-ladhina
an’amta ‘alaihim ghairi al-magdhubi ‘alaihim wa la al-dhallin, Allah menjawab
ini bagian hamba-Ku dan untuknya apa yang diminta.
5.
Sekiranya bismillah itu termasuk ayat dalam surat
al-Fatihah maka hal ini berarti telah terjadi pengulangan kata dalam dua
pernyataan, sehingga surat
tersebut menjadi bismillahi ar-Rahman ar-Rahim, al-hamdu lillahi Rabbi
al-‘Alamin, ar-Rahman
ar-Rahim. Yang demikian ini merusak
susunan puitis yang mulya itu.[28]
6. Ditulisnya bismillah pada surat-surat
hanyalah untuk keberkatan, dan untuk mentaati perintah mengucapkannya dan
memulai dengannya dalam mengawali pekerjaan.
Maka sekalipun baismillah ditulis setiap pembukaan surat,
namun tidak berarti bahwa ia menunjukkan ayatnya dari surat tersebut.[29]
Dalil-dalil yang tersebut di atas itu semua menjadi dalil
Imam Malik dalam berpendapat, bahwa bismillah itu bukan sebagian dari
al-Fatihah.
Berdasarkan
pendapat Imam Malik yang mengatakan bahwa bismillah itu bukan sebagian dari
surat al-Fatihah, yang mana pendapat tersebut menjadi salah satu penyebab
terjadi kesalah pahaman dikalangan orang awam, dan bertentangan dengan teks
al-Qu’ran mushaf Usmani yang biasa digunakan oleh masyarakat, serta
bertentangan dengan madzhab yang dipegang oleh umat Islam yang beraliran salaf
di Indonesia pada umumnya.
Selanjutnya Imam
Syafi’i merupakan salah satu imam fiqih yang madhabnya dianut oleh sebagian
besar masyarakat Indonesia. Apabila masyarakat yang menganut madhab
Syafi’i jika mendengar hal baru yang
berkaitan dengan hukum, serta bertolak belakang dengan pemahaman fiqih mereka,
tentunya mereka akan menolak hal tersebut, bahkan mereka menganggap pemahaman
yang tidak sama dengan paham fiqih mereka dianggap sesat.
Kejadian tentang
penolakan paham lain yang tidak sesuai dengan paham yang biasa dipakai, itu
biasa terjadi dikalangan masyarakat.
Khususnya tingkatan masyarakat yang pendidikan agamanya kurang, atau
masyarakat yang biasa mengkaji kitab-kitab klasik yang bermadhab Syafi’i.
Salah satu kesalah
pahaman mereka (bermadhab Syafi’i) ialah, bahwa orang yang sedang melaksanakan
shalat dan apabila membaca al-Fatihah, itu harus dimulai dengan membaca
bismillah, karena bismillah itu sebagian dari surat al-Fatihah. Siapa saja yang sedang membaca al-Fatihah di
dalam shalat tanpa dimulai dengan bacaan bismillah di dalamnya maka shalatnya
batal, bahkan ada sebagian lagi masyarakat yang mengatakan,”Orang yang
berpendapat bismillah bukan sebagian dari surat al-Fatihah adalah pemahaman
yang sesat”.
Imam Syafi’i
perpendapat bahwa bismillah merupakan salah satu dari surat al-Fatihah, juga
berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut : [30]
1. Hadis Ibnu Abbas
حديث
ابن عباس قال كان النبي صلى الله عليه وسلم يفتتح صلا ته ب بسم الله الرحمن الرحيم
Hadis Ibnu Abbas,
katanya Nabi Muhammad saw. membuka shalatnya (membaca al-Fatihah) dengan
bismillahi ar-Rahman ar-Rahim.
2. Hadis Qatadah
حديث
قتادة قال سئل أنس كيف كانت قراءة النبي صلى الله عليه وسلم فقال كانت مدا ثم قرأ
بسم الله الرحمن الرحيم يمد ببسم الله ويمد بالرحمن ويمد بالرحيم
3. Hadis Anas
حديث
أ نس
قال بينا رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات يوم بين أظهرنا إذ أغفى إغفاءة ثم رفع
رأسه متبسما فقلنا ما أضحكك يا رسول الله قال أنزلت علي آنفا سورة فقرأ بسم الله
الرحمن الرحيم إنا أعطيناك الكوثر فصل لربك وانحر إن شانئك هو الأبتر
Dari Anas katanya, pada suatu hari, ketika kami bersama
Rasulullah saw., tiba-tiba beliau tertidur sebentar, kemudian beliau mengangkat
kepalanya sambil tersenyum. Kami
bertanya.”Mengapa anda tersenyum, ya Rasulullah ?” Beliau menjawab, sebentar
ini turun kepadaku sebuah surat. Lalu dibacakan oleh beliau : Inna
a’tainaka al-kausar, fa shalli li Rabbika wanhar, inna syaniaka huwa al-abtar.
Hadis yang
baru disebutkan di atas menunjukkan bahwa bismillah itu sebagian dari tiap-tiap
surat di dalam
al-Qur'an juga. Dengan dalil, bahwa buktinya Rasulullah saw.
membaca bismillah pada surat
al-Kausar.[31]
4.
Sedangkan dalil logika yang digunakan Imam Syafi’i ialah, bahwasanya
mushhaf para imam ditulis bismillah pada awal surat
al-Fatihah dan setiap surat yang terdapat di
dalam al-Qur'an, kecuali surat
Bara’ah. Bismillah juga ditulis di dalam
mushaf-mushaf yang dikirim ke negeri-negeri, dan yang menukil dari mushaf imam,
selanjutnya secara turun temurun tradisi
ini diikuti terus, sedang telah diketahui bahwa mereka tidak menulis apapun
dalam mushaf yang bukan berasal dari al-Qur'an, dan mereka sangat keras dalam
menjaga hal ini, sampai-sampai mereka menolak penulisan tentang pembagian
mushaf dalam bagian-bagiannya, serta penulisan nama-nama surat dan pembubuhan
noktah pada huruf-huruf bernoktah.[32]
Apa yang terdapat dari kesemuaannya tersebut di atas dalam mushaf pada masa-masa kemudian,
kesemuaannya itu telah ditulis tidak menurut tulisan mushaf, dan dipakai tinta
yang bukan tinta yang lazim dipakai sebelumnya dalam penulisan mushaf. Hal ini semua dilakukan demi memeliharanya
jangan sampai al-Qur'an disusupi oleh sesuatu yang bukan berasal dari
al-Qur'an.[33]
Maka oleh karena itu bismillah yang
terdapat dalam surat al-Fatihah dan yang di
dalam pembukaan surat-surat al-Qur’an merupakan bukti bahwa bismillah adalah
salah satu ayat dari setiap surat
al-Qur'an.[34]
Sehubungan dengan
perbedaan pendapat kedua imam tersebut seputar kedudukan bismillah dalam surat
al-Fatihah, penulis tertarik untuk meneliti kualitas hadis yang menjadi
landasan hukum Imam malik dan Imam Syafi’i tersebut, kemudian masalah yang
menjadi kajian penelitian dirumuskan dari segi kualitas sanad-sanad hadis yang
menjadi landasan hukum imam Malik dalam berpendapat, bahwa bismillah itu bukan
sebagian dari surat al-Fatihah, dan pendapat Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa
bismillah salah satu bagian dari surat al-Fatihah.
C. Perumusan
Masalah
Adapun pokok
permasalahan yang menjadi obyek penelitian penulis sebagai berikut :
a. Bagaimana dalil hadis yang digunakan oleh
Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang kedudukan bismillah dalam al-Fatihah ?
b. Bagaimana kedudukan sanad hadis yang
dijadikan landasan hukum Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang bismillah dalam surat al-Fatihah ?
c. Bagaimana kualitas sanad hadis yang
menjadi dalil Imam Malik dan Imam Syafi’i tentang kedudukan bismillah dalam
surat al-Fatihah ?
D. Tujuan Penelitian
Dari perumusan
masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui hadis-hadis yang
digunakan menjadi dalil oleh Imam Maliki dan Imam Syafi’i, tentang kedudukan bismillah dalam surat
al-Fatihah
b. Untuk mengetahui kedudukan sanad-sanad
hadis yang menjadi landasan hukum Imam Malik dan Imam Syafi’i, tentang
kedudukan bismillah dalam surat
al-Fatihah
c. Untuk mengetahui kualitas sanad-sanad hadis
yang menjadi dalil Imam malik dan Imam Syafi’i, tentang kedudukan bismillah
dalam surat al-Fatehah.
E. Langkah-langkah Penelitian
Dalam penelitian
ini penulis menggunakan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Pengumpulan Data
Dalam
pengumpulan data penulis menggunakan penelitian kepustakaan (library research),
yaitu mengumpulkan dari buku-buku yang yang bersifat primer, di antaranya kitab
matan hadis yaitu, Kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan
an-Nasa’i, Sunan at-Tirmizi, Sunan Ibnu Majah, Sunan ad-Darimi, al-Muwatta, Musnad Ahmad
bin Hanbal, dan Musnad Syafi’i. Dan Mengumpulkan data dari buku-buku yang
bersifat sukender, di antaranya yaitu, kitab Tabaqat, Tarih ar-Ruwah, dan Jarh
wa Ta’dil.
b. Pengolahan data
Selanjutnya
setelah mengumpulkan data. Data yang
telah ada itu diskriptifkan, untuk kemudian dianalisa agar menyentuh inti
permasalahan. Dalam pengolahan data ini,
penulis menggunakan metode sebagai berikut :
1. Menyusun sanad hadis dan menjelaskan
kualitas hadis
2. Meneliti silsilah sanad hadis
3. Menganalisa kualitas hadis dengan
menggunakan teori, “ At-ta’dil muqaddamu ‘ala al-Jarh.”
4. Analisa data menentukan kesimpulan akhir
sanad-sanad hadis.
c. Teknik Penulisan
Penulisan sekripsi ini
berpedoman kepada :
1. Pedoman Penulisan Sekripsi, Tesis, dan
Desertasi IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2000
2. Buku Metodologi Penelitian Hadis Nabi,
karangan Syuhudi Ismail, tahun 1992, penerbit
PT Bulan Bintang, Jakarta
F. Sistematika Pembahasan
Sistematika ini merupakan gambaran
keseluruhan dari sekripsi ini, sehingga akan mudah untuk dipahami. Sistemaika
ini penulis susun menjadi lima bab, dan dari bab-bab tersebut dibagi menjadi
sub bab sebagai berikut :
Bab pertama, Pendahuluan,
meliputi : Latar belakang masalah, kerangka pemikiran, perumusan masalah,
tujuan penelitian, langkah-langkah penelitain, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua, Riwayat hidup Imam
Malik, meliputi : Latar belakang keluarga, pendidikan, dan karir Imam Malik,
landasan hukum Imam Malik dalam membentuk madzhabnya, dan pandangan ulama
terhadap Imam Malik
Bab ketiga, Riwayat hidup Imam
Syafi’i, meliputi : Latar belakang keluarga, pendidikan, dan karir Imam
Syafi’i, landasan hukum Imam Syafi’i dalam membentuk madzhabnya, dan pandangan
ulama terhadap Imam Syafi’i.
Bab keempat, Takhrij hadis tentang bacaan bismillah dalam
surat al-Fatihah menurut Iimam Malik dan Imam Syafi’, meliputi : Matan hadis
tentang bismillah, alasan penggunaan dan kandungannya, sanad hadis tentang
bismillah dan analisis kualitas hadis
Bab kelima, Penutup, meliputi : Kesimpulan dan saran-saran.
DAFTAR PUSTAKA
[1]Al-Qur’an
menurut bahasa berasal dari kata qara’a, qira’atan, dan qur’anan
yang berarti bacaan, sedangkan al-Qur’an menurut istilah ialah, Kalam
atau Firman Allah yang diturunkan kepada penutup para Nabi dan Rasul, (Muhammad
saw.) yang disampaikan kepada kita secara mutawatir, suatu ibadah apabila
membacanya, diawali dari surat al-Fatihah dan diakhiri surat an-Nas. Lihat
Manna’ al-Qatan, Mabahis fi
Ulum al-Qur’an, (tt., tpn.,
tth.), cet. ke-3, h. 20-21; Shubhi Shalih, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, (Bairut : Dar al-‘Ilmi lil Malayin, 1988),
cet. ke-17, h. 18-21; Muhammad ash-Shabuni, at-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Bairut : ‘Alim al-Kutub, 1985),
cet. ke-1, h. 8; Muhammad Abdu al-‘Adhim az-Zarqani, Manahilu al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Bairut : Dar al-Fikr, 1988),
t. cet., h. 14-15
[2]
Tengku Muhammad Hasbi asy-Shiddiqy, Tafsir
al-Qur’an Majid, ( Semarang: Pustaka Rizki Putra , 1991 ),
cet. ke-4, Jilid 1, h. 5 ; Wahbah al-Zuhayli, Tafsir al-Munir, ( Damaskus:
Dar al-Fikr, 1991 ), cet.ke-1,
Jilid 1, h. 54
[4]
Abdu ar-Rahman al-Juzairi, Kitab Fiqh
‘ala al-Madzhab al-Arba’ah,
(Bairut: Dar al-Fikr, 1992),
cet. ke-1, Jilid 1,
h. 218 ; Muhammad Jawad
Mugniyah, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib
al-Khamsah diterjemahkan ke dalam buku Fiqih Lima Madzhab, (Jakarta:
PT Lentera Basritama, 1996), cet.ke-2,
h. 107
[5]
Muhammad ‘Ali as-Sabuni, Tafsir Ayat
al-Ahkam, (Bairut: Dar al-Fikr,
t.th.), t. cet., Jilid 1,
h. 47; Wahbah al-Zuhayli, op. cit., h. 46 ;
‘Alau ad-Din ,Ali bin Muhammad al-Bagdadi, Tafsir al-Khazin, (Bairut:
Dar al-Fikr, t.th.), t. cet.,
Jilid 1, h. 11 ; Ibnu Rusyd,
Bidayatul al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, (Bairut:
Dar al-Fikr, 1995), t. cet.,
Jilid 1, h. 102
[6]
Hadis menurut bahasa adalah baru, ucapan, perkataan, kabar, berita, cerita,
sedangkan kalau menurut istilah adalah, segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad saw., baik dari segi ucapan, perbuatan, dan taqrir. Lihat
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlar,
Kamus Kontemporer Arab Indonesia,
(Yogyakarta : Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996),
cet. ke-1, h. 747; Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah
al-Hadis, (Surabaya : Syirkah Bankul
Indah, tth.), t. cet.,
h. 15; Muhammad ‘Ajaj
al-Khatib, Usul al-Hadis, (Bairut : Dar al-Fikr, 1989),
t. cet., h. 26-26; Shuhudi Ismail, Kaedah Kesahihah Sanad Hadis, Jakarta : Bulan Bintang, 1995),
cet. ke-2, h. 26-27; Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta : Gema Media Pratama, 2001),
cet. ke-4, h. 1-4
[7]
Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan
Sanad Hadis, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995),
cet. ke-2, h. 3
[8]Shuhudi
Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung:
Angkasa, 1994), cet. ke-10,
h. 45; Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis
diterjemahkan ke dalam buku Ulum al-Hadis, (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 1995), cet. ke-2,
Jilid 1, h. 2; Muhammad Mustafa ‘Azami, Studies in Hadith Methodology and
Literature diterjemahkan ke dalam buku Metodologi Kritik hadis, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1996), cet. ke-2,
h. 22
[9]Mahmud
at-Thahan, Taisir Mushthalah
al-Hadis, (Surabaya:
Syirkah Bankul Indah,
t.th.), t. cet., h. 32
[12]
Al-Hafid Zain ad-Din ‘Abd ar-Rahman bin Husain al-‘Iraqi, al-Taqyid wa al-Idhah Syarh Muqoddimah Ibn
as-Shalah, (Bairut: Dar al-Fikr,
t.th.), t. cet., h. 20
[13]Imam
Jalal ad-Din Abu al-Fadhil ‘Abd ar-Rahman as-Suyuti, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, (Bairut:
Dar al-Fikr, 1993), t.cet.,
h. 31; Muhammad ‘Ajaj
al-Khatib, Usul al-Hadis Ulumuhu wa
Mushthalah , (Bairut: Dar al-Fikr,
1989), t.cet., h.
[14]Syuhudi
Ismail, Metodologi Penelitian Hadis, (Jakarta:
PT Bulan Bintang, 1992), cet. ke-1,
h. 64
[16]Subhi
as-Shalah, Ulum al-Hadis wa
Mushthalahu, (Bairut: Dar al-‘Ilm li Malayin, 1988),
cet. ke-17, h. 156; Nuruddin ‘Itr, op. cit., h. 27
[17]Utang
Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2001), cet. ke-4,
h. 166; Ahmad Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah al-Hadis, (Bandung:
Cv Diponegoro, 1983), cet. ke-2,
h. 31; Suhudi Ismail, op. cit., h. 181
[20]Ibid., h. 114
[22]Ibid.
[23]Ibid.
[24]Ibid.
[25]
Bahri Ghazali dan Djumadris, Perbandingan
Madzhab, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992),
cet. ke-1, h. 64
[26] Ibid.
[27]
Imam Malik, al-Muwaththa, (Bairut : Dar al-Fikr, 1989),
cet. ke-1; Ibn Rush, loc. cet.; Muhammad ‘Ali
ash-Shabuni, loc. cit.; Sayid Sabiq,
loc. cit.; al-Khazin, loc. cit.
[28]
Muhammad ‘Ali ash-Shabuni, h. 40
[29] Ibid.
[30]
Hadis-hadis ini dikutib dari: al-Imam Abi ‘Abd Allah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, Musnad al-Imam asy-Syafi’i, (Bairut : Dar al-Fikr, 1992),
cet. ke-1, h. 99-100; Ibn Rush,
loc. cit.; Muhammad ‘Ali
ash-Shabuni, loc. cit.; Sayid Sabiq,
loc. cit.; al-Khazin, loc. cit.
[31]
Muhammad ‘Ali ash-Shabuni, h. 48
[32] Ibid.
[33] Ibid.
[34] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar